DUNIA GARMENT - BERITA, SHARING, TIPS DAN INFORMASI TERKINI

Ads LS03

Huge Selection 720 x 300 v2

Tuesday, November 18, 2008

Buruh Anak

Kemiskinan, Akar Persoalan PRT Anak





Kemiskinan, Akar Persoalan PRT Anak

Oleh: Maria Hartiningsih

Laporan ke-12 Human Right Watch mengenai buruh anak berjudul ”Always on call: abuse and exploitation of child domestic workers in Indonesia” melucuti bias-bias pandangan masyarakat tentang buruh anak pekerja rumah tangga, tetapi tidak menyentuh akar persoalan dari fenomena anak pekerja rumah tangga di Indonesia.

Laporan itu merupakan hasil investigasi, menyusul berbagai investigasi mengenai penggunaan anak dan tenaga anak secara eksploitatif di berbagai sektor kegiatan, termasuk di dalam konflik bersenjata di berbagai negara.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab ketika ditanya pandangannya mengenai laporan tersebut oleh para jurnalis kantor berita asing, mengatakan, pekerja rumah tangga anak (PRTA) merupakan fenomena kultural. Katanya, bila mereka tidak suka perlakuan di tempat kerjanya, mereka bisa pergi dan mencari pekerjaan di tempat lain. Komentar itu dikutip di harian The Guardian (21/6) oleh kantor berita Reuters dan AFP pada waktu hampir bersamaan.

”Fenomena kultural” merupakan jawaban banyak tokoh menanggapi fenomena PRTA, karena secara historis memang ada tradisi ngenger di berbagai suku bangsa di Indonesia. Ngenger pada zaman feodal di Jawa berarti menitipkan anak kepada para priyayi untuk dijadikan abdi, atau abdi dalem di kalangan kerajaan, supaya secara sosial statusnya meningkat.

Istilah ini juga digunakan untuk anak yang dititipkan kepada kerabat atau keluarga besarnya di kota yang lebih mapan secara ekonomi. Kalaupun tak ada hubungan keluarga, paling tidak ada komitmen untuk membantu pendidikan anak tersebut. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman, istilah itu sering dimanipulasi untuk menutupi eksploitasi dan penindasan oleh pihak yang ditumpangi terhadap yang menumpang.

Tak menyentuh akar

Mengutip data Organisasi Buruh Internasional, laporan itu memperkirakan di Indonesia terdapat 4.201.452 anak di bawah usia 18 tahun yang terlibat dalam pekerjaan berbahaya. Dari jumlah itu, lebih dari 1,5 juta anak di antaranya adalah perempuan. Dari survei yang dilakukan Universitas Indonesia dan Program Penghapusan Buruh Anak Organisasi Buruh Internasional (IPEC/ILO), diperkirakan terdapat 2,6 juta PRT di Indonesia, dan sedikitnya 34, 83 persennya (688,132) tergolong usia anak (di bawah 18 tahun). Sekitar 93 persen dari jumlah itu adalah anak perempuan.

Laporan itu memuat persoalan PRTA, termasuk modus penipuan dan ingkar janji, eksploitasi, dan penindasan yang dengan mudah terlihat dari lamanya waktu kerja, kurangnya waktu istirahat dan tidak adanya hari libur, kekerasan psikologis dan fisik, serta ancaman kekerasan yang dialami PRTA di tempat kerjanya.

Namun, laporan itu tidak mengkaji mendalam akar persoalan fenomena PRTA, sehingga jalan keluar yang ditawarkan hanya menyentuh puncak gunung es persoalan PRTA.

Laporan ini menyebut hubungan antara pendidikan dan buruh anak, tetapi tidak memberi gambaran mengenai hubungan lebih jauh antara kemiskinan dalam arti luas—bukan hanya kemiskinan materi—dengan posisi anak, khususnya anak perempuan pada banyak budaya di Indonesia. Juga tidak disinggung mengenai ketimpangan yang makin lebar antara pendidikan dan lapangan kerja.

Karena itu, seperti mengulang laporan IPEC/ILO yang dibukukan dalam Bunga-bunga di Atas Padas (2004), laporan HRW ini hanya memberi solusi yang tak jauh dari perlindungan dan hukum. Kedua hal itu tentu saja sangat penting, tetapi juga cenderung menyembunyikan dimensi persoalan yang lebih luas, termasuk struktur gaji dan lemahnya sistem jaminan keamanan sosial di Indonesia.

Tidak sederhana

Masalah PRT anak sebenarnya sangat rumit, ujar Sudaryanto. Direktur dari Direktorat Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu mengatakan, peraturan apa pun tak mudah diimplementasikan di wilayah kerja yang sifatnya privat, yakni di dalam rumah. Sehingga sulit dijangkau, tambah Sudaryanto.

Ia juga mengingatkan peraturan yang dibuat pemerintah pusat tidak dapat begitu saja dipaksakan berlaku di daerah setelah diterapkannya otonomi daerah. Justru yang diperlukan adalah peraturan-peraturan daerah yang mengatur perlindungan terhadap PRT dan mempunyai klausul khusus mengenai PRT anak, ia melanjutkan.

Menurut Sudaryanto, variasi situasi dari berbagai daerah sangat tajam, sehingga tidak bisa digeneralisasi. Ia mengambil contoh Filipina yang sudah memiliki peraturan nasional mengenai PRT, namun sangat hati-hati menentukan standar gaji minimum. Sudaryanto tidak menyebut perhitungan upah yang dipaparkan dalam laporan itu.

Kata Sudaryanto, pihaknya terus mendorong para pemangku kepentingan di berbagai daerah untuk merancang peraturan perlindungan PRT. Beberapa daerah yang sedang melakukannya antara lain, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Riau. Pemangku kepentingan yang ia maksudkan adalah birokrasi, perguruan tinggi, organisasi nonpemerintah, dan asosiasi pengusaha. Kalau hanya dibebankan pada birokrasi tidak akan selesai, katanya.

Meski tampaknya ideal, penjelasan Sudaryanto memperlihatkan bias pandangannya sebagai birokrat, karena ia memandang PRT tak mampu mendefinisikan kebutuhannya.

Kendati demikian, Sudaryanto mengingatkan, akar persoalan ini, yakni kemiskinan dan labor surplus economy. Masyarakat miskin kita 36 juta orang, yang menganggur 10 juta orang dan 60 persen pendidikan masyarakat hanya tingkat sekolah dasar, paparnya. Karena itu, lanjut Sudaryanto, paradigmanya harus digeser.

Saya tidak mau hanya menjadi seperti pemadam kebakaran. Kasus-kasus memang ada dan harus diselesaikan, tetapi akarnya juga harus diperhatikan, tegasnya.

Penuh bias

Panji Putranto dari IPEC/ILO memaparkan bias-bias pandangan masyarakat dalam persoalan PRTA. PRT anak mengalami dua diskriminasi sekaligus, diskriminasi berdasarkan jender dari orangtuanya, dan berdasarkan kelas dan jender dari majikannya, dan secara sosial dari masyarakat yang menganggap pekerjaan domestik sebagai pekerjaan yang rendah, ujarnya.

Petugas lapangan dari Program Beasiswa eks PRTA dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Iin Muindasari, kerap dihadapkan pada kenyataan yang diskriminatif terhadap anak perempuan. Kalau anaknya dikembalikan ke rumah orangtua untuk diberi beasiswa, orangtuanya malah sering marah karena tidak ada pemasukan, malah harus mengeluarkan uang untuk biaya transpor, ujar Iin beberapa waktu lalu. Kalau ditanya pada orangtua apakah ada anak laki yang mau menjadi PRT, jawabannya adalah cemoohan, Mana ada.

Mengenai kasus-kasus majikan yang ditipu PRT dan banyak kasus di mana PRT berlaku sesukanya terhadap majikan, seperti minta pulang tanpa peduli situasi di rumah majikan, Panji mengatakan, Tak semua majikan baik, tak semua PRT baik, tak semua penyalur tenaga kerja baik, ujarnya. Karena itu harus ada peraturan yang jelas, kontrak kerja yang jelas. Era ngenger harus diakhiri, tegas Panji.

Ia mengingatkan, pada masa Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menakertrans yang lalu pernah dikampanyekan libur satu minggu satu hari, tetapi sampai hari ini tak ada kelanjutan kampanye tersebut. *

Sumber: Kompas

0 comments: