DUNIA GARMENT - BERITA, SHARING, TIPS DAN INFORMASI TERKINI

Ads LS03

Huge Selection 720 x 300 v2

Friday, November 21, 2008

TOL SUKABUMI KAPAN DIBANGUN?


29-11-2007 05:55 WIB
Anggaran Tol Sukabumi Belum Diketahui

SUKABUMI - Harapan masyarakat Sukabumi untuk memperoleh layanan infrastruktur bebas hambatan tidak lama lagi segera terwujud. Realisasi Tol Bandung-Sukabumi-Cianjur (Tol Sukabumi) sudah masuk perencanaan 2008.

Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan usai lawatannya ke Sukabumi, mengungkapkan dari 13 tol di Indonesia yang akan direalisasikan oleh Badan Pembangunan Jalan Tol (BPJT), untuk Provinsi Jawa Barat memperoleh tiga jatah pembangunan. "Pertama, untuk jalur bebas hambatan Cileunyi-Sumedang-Dauan. Lalu Subang-Cirebon dan terakhir Bandung-Cianjur-Sukabumi," sebut Danny, dua hari lalu.

Anggaran untuk pembangunan tol tersebut sudah disiapkan dari APBN 2008. Hanya untuk pembangunannya akan melalui tahapan pembebasan tanah terlebih dulu, perhitungan proyek, dan selanjutnya realisasi. "Mudah-mudahan secepatnya terwujud. Hal ini untuk membuka nuansa pembangunan di sejumlah daerah di Jawa Barat yang berpotensi sebagai penyangga ibukota serta untuk meningkatkan derajat indeks pembangunan manusia (IPM)," beber Danny. Besar anggaran yang dikeluarkan untuk pembangunan Tol Sukabumi belum diketahui pasti. Namun, BPJT menargetkan setiap satu tol kisarannya dari Rp 200 miliar sampai kurang lebih Rp 600 miliar, tergantung pada jarak tempuh.

Sekadar diketahui, dari tiga tol yang masuk perencanaan 2008, nampaknya yang lebih dulu diprioritaskan yakni Subang-Cirebon. Kebutuhan ini dinilai cukup mendesak sebab untuk mengantisipasi kemacetan di ruas jalur Pantai Utara (Pantura) yang setiap masa mudik dan balik Lebaran kerap menimbulkan kemacetan panjang.

Menanggapi rencana pembangunan Tol Sukabumi, sebelumnya Walikota Sukabumi Muslikh Abdussyukur maupun Bupati Sukabumi Sukmawijaya menyatakan sangat setuju. Menurut mereka, imbas dibangunnya jalan tol akan membuka Sukabumi yang selama ini terkesan tertutup padahal potensi yang ada di Sukabumi tidak kalah hebatnya dengan yang ada di daerah lain di Jabar

Read More..

Industri Tekstil


Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia


INDUSTRI TESKTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA secara teknis dan struktur terbagi dalam tiga sektor industri yang lengkap, vertikal dan terintegrasi dari hulu sampai hilir, yaitu:

1.
Sektor Industri Hulu (upstream), adalah industri yang memproduksi serat/fiber (natural fiber dan man-made fiber atau synthetic) dan proses pemintalan (spinning) menjadi produk benang (unblended dan blended yarn). Industrinya bersifat padat modal, full automatic, berskala besar, jumlah tenaga kerja realtif kecil dan out put pertenagakerjanya besar.
2.
Sektor Industri Menengah (midstream), meliputi proses penganyaman (interlacing) benang enjadi kain mentah lembaran (grey fabric) melalui proses pertenunan (weaving) dan rajut (knitting) yang kemudian diolah lebih lanjut melalui proses pengolahan pencelupan (dyeing), penyempurnaan (finishing) dan pencapan (printing) menjadi kain-jadi. Sifat dari industrinya semi padat modal, teknologi madya dan modern – berkembang terus, dan jumlah tenaga kerjanya lebih besar dari sektor industri hulu.
3.
Sektor Industri Hilir (downstream), adalah industri manufaktur pakaian jadi (garment) termasuk proses cutting, sewing, washing dan finishing yang menghasilkan ready-made garment. Pada sektor inilah yang paling banyak menyerap tenaga kerja sehingga sifat industrinya adalah padat karya.



KOMODITI INDUSTRI TPT INDONESIA berdasarkan ekspor dengan harmonize system (HS) 6 digit adalah sebagai berikut:

* Serat (fibres), yaitu serat alami (silk, wool, cotton) dan serat buatan (man-made fiber).
* Benang (yarn), yaitu silk, wool, cotton, filament, dan staple fiber.
* Kain (fabric), yaitu woven (silk, wool, cotton, filament, staple), felt, non-woven, woven file fabric, terry towelling fabric, gauze, tulle and others net fabric, lace, narrow woven fabric, woven badges and similar, braids in the piece, woven fabric of metal thread, embroidery, quilted textile product, impregnated, coated covered or laminated textile fabric, knitted fabric.
* Pakaian jadi (garment) dari knitted and non-knitted.
* Lainnya (others), yaitu carpet (floor covering, tapestry), wedding, thread cord, label, badges, braid & similar, house/tube textile, conveyor belt, textile product of technical uses, others made up textile articles.



SEJARAH PERTEKSTILAN INDONESIA secara pasti sejak kapan awal keberadaan industri TPT di indonesia tidak dapat dipastikan, namun kemampuan masyarakat Indonesia dalam hal menenun dan merajut pakaiannya sendiri sudah dimulai sejak adanya kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia dalam bentuk kerajinan, yaitu tenun-menenun dan membatik yang hanya berkembang disekitar lingkungan istana dan juga ditujukan hanya untuk kepentingan seni dan budaya serta dikonsumsi/digunakan sendiri.

Sejarah pertekstilan Indonesia dapat dikatakan dimulai dari industri rumahan tahun 1929 dimulai dari sub-sektor pertenunan (weaving) dan perajutan (knitting) dengan menggunakan alat Textile Inrichting Bandung (TIB) Gethouw atau yang dikenal dengan nama Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926 dengan produknya berupa tekstil tradisional seperti sarung, kain panjang, lurik, stagen (sabuk), dan selendang. Penggunaan ATBM mulai tergeser oleh Alat Tenun Mesin (ATM) yang pertama kali digunakan pada tahun 1939 di Majalaya-Jawa Barat, dimana di daerah tersebut mendapat pasokan listrik pada tahun 1935. Dan sejak itu industri TPT Indonesia mulai memasuki era teknologi dengan menggunakan ATM.



Tahun 1960-an, sesuai dengan iklim ekonomi terpimpin, pemerintah Indonesia membentuk Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS) yang antara lain seperti OPS Tenun Mesin; OPS Tenun Tangan; OPS Perajutan; OPS Batik; dan lain sebagainya yang dikoordinir oleh Gabungan Perusahaan Sejenis (GPS) Tekstil dimana pengurus GPS Tekstil tersebut ditetapkan dan diangkat oleh Menteri Perindustrian Rakyat dengan perkembangannya sebagai berikut:

*
Pertengahan tahun 1965-an, OPS dan GPS dilebur menjadi satu dengan nama OPS Tekstil dengan beberapa bagian menurut jenisnya atau sub-sektornya, yaitu pemintalan (spinning); pertenunan (weaving); perajutan (knitting); dan penyempurnaan (finishing).
*
Menjelang tahun 1970, berdirilah berbagai organisasi seperti Perteksi; Printer’s Club (kemudian menjadi Textile Club); perusahaan milik pemerintah (Industri Sandang, Pinda Sandang Jabar, Pinda Sandang Jateng, Pinda Sandang Jatim), dan Koperasi (GKBI, Inkopteksi).
*
Tanggal 17 Juni 1974, organisasi-organisasi tersebut melaksanakan Kongres yang hasilnya menyepakati mendirikan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan sekaligus menjadi anggota API.



FASE PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL INDONESIA diawali pada tahun 1970-an industri TPT Indonesia mulai berkembang dengan masuknya investasi dari Jepang di sub-sektor industri hulu (spinning dan man-made fiber making). Adapun fase perkembangannya sebagai berikut:

*
Periode 1970 – 1985, industri tekstil Indonesia tumbuh lamban serta terbatas dan hanya mampu memenuhi pasar domestik (substitusi impor) dengan segment pasar menengah-rendah.
*
Tahun 1986, industri TPT Indonesia mulai tumbuh pesat dengan faktor utamannya adalah: (1) iklim usaha kondusif, seperti regulasi pemerintah yang efektif yang difokuskan pada ekspor non-migas, dan (2) industrinya mampu memenuhi standard kualitas tinggi untuk memasuki pasar ekspor di segment pasar atas-fashion.
*
Periode 1986 – 1997 kinerja ekspor industri TPT Indonesia terus meningkat dan membuktikan sebagai industri yang strategis dan sekaligus sebagai andalan penghasil devisa negara sektor non-migas. Pada periode ini pakaian jadi sebagai komoditi primadona.
*
Periode 1998 – 2002 merupakan masa paling sulit. Kinerja ekspor tekstil nasional fluktuatif. Pada periode ini dapat dikatakan periode cheos, rescue, dan survival.
*
Periode 2003 – 2006 merupakan outstanding rehabilitation, normalization, dan expansion (quo vadis?). Upaya revitalisasi stagnant yang disebabkan multi-kendala, yang antara lain dan merupakan yang utama: (1) sulitnya sumber pembiayaan, dan (2) iklim usaha yang tidak kondusif.
*
Periode 2007 pertengahan – onward dimulainya restrukturisasi permesinan industri TPT Indonesia.





Sumber dan Bahan Bacaan.

1. Chamroel Djafri, “Gagasan Seputar Pengembangan Industri Dan Perdagangan TPT (Tekstil dan Produk Tekstil)”, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Cidesindo, Jakarta, 2003.
2. Gunadi, “Pengetahuan Dasar Tentang Kain-kain Tekstil dan Pakaian Jadi”, Yayasan Pembinaan Keluarga UPN Veteran, Jakarta, 1984.
3. Benny Soetrisno, ”Perspektik & Tantangan Industri Tekstil Nasional Pasca Kuota, Implikasi & Urgensinya Terhadap Perbankan”, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jakarta, 2004.
4. Direktorat Jenderal Industri Tekstil Departemen Perindustrian Republik Indonesia, “Buku Petunjuk Industri Tekstil”, Jakarta, 1976.
5. Badudu-Zain, “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
diambil dari blog http://egismy.wordpress.com

Read More..

Thursday, November 20, 2008

Accurate Fabric cost

Accurate Fabric Costs

Developing Fact-based Yield Estimates and Costing Partnershipsby Robert Broadhead

In this article I address the process of estimating fabric yields, the complications involved in offshore contracting, and how to be as accurate as possible in predicting/negotiating fabric costs.

Fabric is 25-40% of the cost of manufacturing a garment in the US and 50-70% in package programs overseas, so accuracy here is worthy of attention. (We've heard this a lot over the years, but it's worth repeating. No other single refinement in production can provide substantial cost savings as easily as fabric control.) Controlling or negotiating fabric costs has become more complicated as overseas manufacturing and cut-make-trim (CMT) / package programs have grown. Before work went offshore, in-house fabric yield estimates and final production consumption reflected cutting department work (either the manufacturers or a local contractors) that was readily known and monitored. However, it is surprising that many businesses do not track the variance between the actual cost of fabric at the end of production and the estimated cost of fabric on the bill of materials. This can significantly impact the bottom line.

CMT Programs
With CMT programs, contractors are essentially being paid for their labor while the Retailer or Manufacturer (R/M) supplies the fabric; therefore, tracking fabric yield often does not get the attention it warrants from the contractor. Cutting department procedures may vary in other countries and problems of time, distance, and culture may also effect results. However, the R/M still controls the patterning and yield estimating process and should have a good idea of expected usage.
Regardless of who does the production markers it is important to reach an agreement in advance of production about how variances in consumption will be handled.

Package Programs
Package programs further complicate estimating and negotiating accurate fabric yields. Retailers and Manufacturers are asking Contractors to bid on package programs based on limited information (e.g., a spec sheet, sample garment, and, perhaps, a "block" pattern) with a short period of time to return a bid. Both parties understand that all the information needed to establish an accurate fabric yield is not available at the time of the price negotiation and everyone wants to avoid up charges and renegotiating costs after their final pricing and margins are set.
Given this climate the Contractor is in a bind. They don't want to bid too low and lose profit margin but also don't want to bid too high and lose the business. The result is often a moderately high bid from the contractor to allow for changes in the final patterning and other unsettled aspects of final production.
The R/M also has limited ways to evaluate the accuracy of the yield since they no longer create a finished pattern. An important question for the R/M is whether it is worth it to create a pattern and develop it sufficiently to provided an accurate estimate for negotiating fabric costs.

In an environment of faster turn times and less information to work with, we'll look at the possible ways to estimate fabric usage and the pros and cons of using each in Local / CMT / Package programs. But first, let's look at the main factors effecting final production consumption, which is what we want to estimate.

What Happens in the Cutting Department
Graded patterns are marked to produce the quantities ordered in each size. These markers reflect the final fit patterning, proper grading of sizes, fabric cuttable width, and the percentage of production being produced in each size. In spreading fabric, the marker sections are overlapped at the ends by a small amount and this also adds to fabric consumption. Fabric quality effects how much damaged material is going to be lost in the spreading process, so there is a "damage cut out percentage" that can be quantified at the end of production. Other impacts on material utilization are allowances for fabric quality testing, bias, and re-cutting garment parts.

Fabric consumption at the end of production, then, is dependent on these components

  • Final fit pattern
  • Pattern grade
  • Fabric cuttable width
  • Distribution of units in the size range
  • Marker section overlaps
  • Damages cut out in spreading
  • If applicable, fabric quality testing, bias, and re-cuts
  • Estimating Production Yield
Fabric yield estimates are an attempt to account for these components of material utilization. More detailed and accurate itemization of production processes in the estimate gives more accuracy. Less detail and more averaging leads to less reliable estimates (a common approach, for example, is making a sample size estimate marker and adding an average percentage to the yield to account for all the other components). Estimates are often done at three stages in the style development process.

A design estimate may be made early in the design phase to determine if the style can be produced profitably. This is the least accurate "ballpark" estimate because the final determination of patterning, fit, and fabric cuttable width and quality may still be in development.

Once a style has been adopted as part of a line a fabric purchase estimate is needed. Accuracy here is very important since 25-40% of the cost of manufacturing will be spent using this "yards per garment" number. Most of the components of production yield are nearly in their final form, so good estimate numbers are possible

That is, the pattern is close to final fit approval and the fabric source/cuttable width/quality are available. The fabric quality, in the form of an inspection report from the mill, can be converted into an anticipated damage percentage that will be cut out in spreading (more on this later). While a significant percentage of sales numbers are still missing, if any at all are available, past season's sales percentages by size are available for a similar style and are a sound basis for yield estimate calculations

The final estimated yield is made going into production in the form of a cut plan. The cut plan can be made for a single order or for the entire season's production on the style. Production markers are made to cut the quantities sold in each size. They reflect the verified cuttable width of the fabric. The historic or calculated damage cut out percentage is added to the marker yield, as is the historic or standardized marker section overlap allowance.

When final production units and yardage used are recorded, this actual yield is compared to the design, fabric purchase, and cut plan estimates to calculate the percent error at each stage. Tracking estimate error allows gain/loss calculations and the opportunity to identify improvements in the process.

Let's examine the methods available to estimate fabric yield and which are best applied to each type of program.

Duplicate the production process. I worked for a children's wear screen printing firm that sold only a few basic styles, in a fixed ratio, in a limited number of fabrics, year after year.
Nearly all the components of production yield were known and only the screen printing varied. We made full sets of ratio production markers for fabric purchase estimates and were very accurate in our estimates of final production usage. Due to the simplicity of the patterns this was cost effective and could be done within our design and production time schedule. Design estimates were not needed as our production history provided the ballpark yields needed. Cut plans were made on an order by order basis but not for the season, since the fabric purchase estimates were very accurate. This was an unusual situation as most companies cannot afford the time or cost of fitting, grading, or production marking early in the production cycle.

Use Graded patterns for estimate markers. Graded patterns usually offer a more accurate way to estimate yield than using the sample size pattern.
For example, look at an 8-18 size range with a sample size 10.

size 8 10 12 14 16 18

% of Production 8 17 25 25 17 8 = 100%

Sales Ratio 1 2 3 3 2 1

Using a size 12-14 combination in the estimate marker has two advantages: 1) these sizes represent 50% of production, and 2) they fall in the middle of the size range and so they more accurately represent the yield of the 10-16 and 8-18 size combination production markers. To this "marker yard per garment" yield can be added allowances for damage, overlap, etc. For Local and CMT programs, the improved accuracy of the fabric purchase estimate usually justifies the time and expense of grading. For Package programs, the main question is how much work is going to be done on patterning, if any, for the sake of evaluating bids and negotiating fabric costs. The simple answer on this is - patterning is worth it! More on this later.

Use sample size patterns for estimate markers and average the other components of production. This is one of the most common procedures but has serious limitations. In the above 8-18 example the sample size 10 represents only 17% of production and the marker layout does not represent the 12-14, 10-16, or 8-18 pattern arrangements. An average percentage can be added to the size 10 estimate marker to compensate for this discrepancy but there will be a significant error in this averaging from fabric to fabric and style to style, even within a body type. An additional source of error is that most sales numbers do not occur in a convenient 1-2-3-3-2-1 ratio, as in this example. For Local/CMT/Package programs, marking a sample size pattern and adding a lumped average percentage (representing grading, damages, etc.) at any stage of estimating yield leads to a high error rate that can be avoided.

Estimate yield using a similar style from a previous season that has a known production yield. Without a pattern, the accuracy of the estimate gets even more erratic. Small patterning differences can cause larger than expected yield variances. A review of 17 styles of women's 5-pocket jeans all marked at 61.5" showed final production yields from 1.11 to 1.32 yards per garment - a 19% difference! Trying to mathematically convert the yield of a similar style marked at one width (e.g. 62") to a new style at a different width (e.g. 54") will skew the results further. With Package programs the R/M that chooses not to develop a patterned estimate is vulnerable to overcharges on fabric. A company recently approached me saying that by evaluating bids based on similar styles their average negotiated fabric cost was 15% high.

Estmarktm software is a new offering to the apparel industry that accurately estimates fabric yield by itemizing all the components of production into its calculation. The accuracy of the results depends on the quality of the data entered. If the seven components of final production consumption, listed above, are used with a sample size estimate marker the results can be accurate to within one percent of the actual final production consumption. If a "block" or non-final-fit pattern is used and averages are itemized for each of the other components the error can be held to under five percent, on the average. The fabric purchase estimate for Local/CMT/Package programs will fall within a 1-5% error depending on the accuracy of the data input. The software also includes a conversion program in which the damage cut out percentage is calculated by inputting a fabric inspection report; a useful tool since inspection reports are readily available from fabric mills and damage cut out percentages vary widely.

Using the infant's wear example below in the size range Small-5XL with a sample size Medium estimate marker, it becomes easier to see how this process is better than the others.

Size S M L XL 2XL 3XL 4XL 5XL

% of Production 6 9 18 19 16 15 11 6 = 100%

Pattern Grade % 9 0 8 17 26 35 42 48

Using any simple combination of graded sizes, much less the sample size, in an estimate marker will not adequately represent the pattern grade or the distribution of production within the size range. With Estmarktm, each percentage of pattern grade and unit distribution within the size range is used in the calculation, so there is no averaging. The resulting estimated yield can only be improved on by making a full set of production markers.

Estmarktm is a tool for Retailers/Manufacturers/Import Brokers/Contractors to achieve a fact-based partnership. The calculated yield is as accurate as it can be using the best data available at the time. If any of the items in the calculation change (e.g., fabric width/quality or patterning), the itemized process provides the fact-based recalculation format for any yield adjustment

Read More..

Infor Lowongan Pekerjaan

Informasi Lowongan Kerja/Pekerjaan/Karir

Nama Perusahaan :PT. DJS (Doosan Jaya Sukabumi)
Deskripsi :PT Doosan Jaya Sukabumi, Garment Exporter, berlokasi di Parung Kuda Sukabumi

Lowongan yang dibutuhkan, Persyaratan, Alamat Surat, Tanggal Penutupan

Lowongan untuk:Compliance Staff

Lokasi Kerja di:Parung Kuda Sukabumi

Persyaratan:- Pria/Wanita
- Domisili Sukabumi dan sekitarnya
- Pendidikan minimal DIII
- Mengerti Bahasa Inggris
- Terbuka untuk yg pengalaman dan Fresh graduate

Alamat Surat, dsb :Kirimkan lamaran dan CV lengkap via email ke testo@doosan.co.id
atau ke
PT Doosan Jaya Sukabumi
Jl. Raya Sukabumi Desa Kompa Parung Kuda
Sukabumi

hubungi Bp. Roger HRD Mgr

Cantumkan dalam surat lamaran, anda mengetahui informasi lowongan ini tanggal berapa dan dari mana (dari website apa atau koran apa atau yang lainnya).

Tgl. Penutupan:13 Des 2008 --- iklan dipasang tgl 13 Okt 2008
dari situs www.bursa_kerja.ptkpt.net

Read More..

ISO 9001:2008

ISO 9001:2008 SEGERA DIRILIS

oleh:noor fitrihana

Dari www.batikyogya.wordpress.com

ISO 9001 telah banyak diterapkan di beberapa perusahaan, ISO 9001 telah mengalami tiga kali perubahan pertama tahun 1987, kedua tahun 1994 dan ketiga tahun 2000.
Sebagaimana standar-standar lainnya, standar Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 ditinjau secara periodik, setiap ± 6 - 7 tahun. Saat ini peninjauan sedang dilakukan pada standar ISO 9001 revisi terakhir yang diterbitkan tanggal 15 Desember 2000 untuk memastikan apakah standar tersebut masih relevan atau tidak dengan situasi dan kondisi dunia usaha/industri saat ini. Pada akhir tahun 2008 ini ISO akan mengeluarkan standar baru yaitu ISO 9001:2008 yang akan menggantikan ISO 9001:2000. Perusahaan yang telah menerapkan ISO 9001:2000 harus melakukan perubahan ( up grade ) ke ISO 9001:2008 agar masih dapat menggunakan sertifkat. Biasanya diberikan toleransi waktu 2 tahun sejak versi terbaru diluncurkan.

Peninjauan (revisi) dilakukan oleh berbagai working group dan komite yang berada dalam kelompok ISO/TC 176 melalui proses-proses yang menghasilkan dokumen, secara berturut-turut: Committee Draft (CD) 1, CD 2, dan terakhir DIS/ISO 9001:2008. Saat ini DIS/ISO 9001:2008 sedang dalam proses ballot untuk menjadi Final Draft International Standard (FDIS).
Beberapa hal terkait dengan revisi standar ISO 9001 adalah:
 Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi hanya sedikit saja (minor) sehingga organisasi tidak akan terlalu bermasalah dalam mengadopsinya ke dalam sistem mereka.
 Desain proses revisi untuk ISO 9001 ditetapkan bahwa jika sudah terjadi revisi major sebelumnya, maka revisi berikutnya akan dilakukan revisi minor.
 Perubahan yang signifikan terdapat pada standar ISO 9004 yang merupakan dokumen panduan (bukan peryaratan).

Berikut perubahan yang terdapat pada DIS/ISO 9001:2008:

PERUBAHAN STANDAR ISO 9001:2000 vs DIS/ISO 9001:2008
Sumber FCG Consulting
SECTION PERUBAHAN
0.1 Para. 3
Persyaratan peraturan/perundangan (statutory & regulatory) berkaitan dengan produk secara tegas diminta (harus diidentifikasi sejak awal).
0.4
Ditambahkan penjelasan bahwa pengembangan ISO 9001:2008 mempertimbangkan standar ISO 14001:2004.
klausul 1.1 dan 1.2
• Disebutkan kembali persyaratan perundangan produk.
• Note 1: ditambahkan bahwa istilah produk (dalam realisasi produk) termasuk produk yang dibeli.
• Note 2: Peraturan/perundangan merupakan persyaratan hokum (legal).
klausul 2 Referensi yang digunakan adalah ISO 9000:2005.
klausul 3 Penjelasan tentang Pelanggan – Organisasi – Suplier dihilangkan.
klausul 4.1
• Kata “identifikasi (identify)” diganti menjadi “ditentukan (determine)”.
• Pernyataan berkenaan proses yang dioutsourcekan agas ditekankan tetapi maksudnya tetap sama.
• Note 2 ditambahkan untuk menjelaskan bahwa proses yang dioutsourcekan mungkin berkaitan dengan klausul 7.4 (Pembelian).
• Note 3 perluasan tipe pengendalian. Pengendalian juga dilakukan pada proses yang dioutsourcekan.
4.2.1
• Susunan kata agak ditata kembali tetapi maksudnya tetap sama.
• Note 2 ditambahkan untuk menjelaskan bahwa dokumen tunggal dapat terdiri dari persyaratan bagi satu atau lebih prosedur. Sebuah persyaratan untuk prosedur terdokumentasi dapat meliputi lebih dari dokumen, seperti: dokumen Tindakan Koreksi dan Pencegahan dijadikan satu dokumen.
4.2.3.f Klarifikasi tentang dokumen eksternal yang menjadi referensi yang dibutuhkan dalam Sistem Manajemen Mutu.
4.2.4
Panjang klausul ini dikurangi secara signifikan tetapi persyaratannya tidak berubah.
5.1.a
Ditambahkan kata “statutory”.
5.5.2
Ditambahkan persyaratan bahwa Wakil Manajemen perlu berasal dari anggota manajemen organisasi.
6.2
• Perubahan Judul tetapi kalimatnya tetap sama (perubahan dalam perintah).
• Versi 2000 menyebutkan ’……………… berdampak terhadap mutu produk’, sekarang menjadi ‘…………. berdampak terhadap kesesuaian persyaratan produk’.
• 6.2.2 b) standa 2008 menyatakan bahwa ‘jika dapat diterapkan’ pelatihan perlu disediakan untuk memenuhi kompetensi yang diperlukan.
• 6.2.2 c) standar 2008 menyatakan bahwa pemenuhan kompetensi lebih menjamin dari pemeriksaan efektivitas pelatihan.
6.3
c) termasuk sistem informasi.
6.4
Ditambahkan catatan untuk menjelaskan bahwa lingkungan kerja termasuk kebisingan, temperature dan kelembaban.
7.1
c Ditambahkan kata Pengukuran.
7.2.1
• agak ditekankan.
• kata ‘berkaitan dengan’ diganti menjadi ‘dapat diterapkan’.
• Pernyataan tentang persyaratan tambahan ditentukan oleh organisasi menjadi perlu dipertimbangkan oleh organisasi.
• Ditambahkan catatan untuk menjelaskan bahwa kata ‘aktivitas setelah pengiriman’ termasuk: pemberian garansi, dll.
7.3.1
Ditambahkan catatan untuk menjelaskan bahwa Tinjauan Disain, verifikasi dan validasi adalah aktivitas terpisah, walaupun pelaksanaannya dapat dipisahkan atau digabungkan (kombinasi), seperti: aktivitas verifikasi dan validasi dilaksanakan bersamaan.
7.3.2
Pada paragraph terakhir, kata input-input ini menjadi input-input (saja).
7.3.3
• Kata ‘disediakan’ dihilangkan dan kata ‘sesuai untuk (suitable for)’ diganti menjadi ‘yang dapat (that enables)’.
• b) kata ‘untuk’ (penyediaan layanan) dihilangkan.
• Ditambahkan catatan yang memperhatikan cakupan terhadap ‘perlindungan produk’.
7.5.3
• Persyaratan tambahan untuk memperjelas bahwa status inspeksi dan test harus diidentifikasi selama realisasi produk.
• Agak ditekankan persyaratan terhadap rekaman kemamputelusuran.
7.5.4
• Penekanan terhadap persyaratan untuk menginformasikan kepada pelanggan jika terdapat masalah dan penyimpanan rekaman.
• Pernyataan “dan data personal” ditambahkan pada catatan tentang intelektual property.
7.5.5
• Penekanan dari “kesesuaian dari (conformity of)” menjadi “supaya mempertahankan/menjaga kesesuaian terhadap persyaratan”.
• “apabila sesuai (where appropriate)” diubah menjadi “jika dapat diterapkan (as applicable)”.
7.6
• Kata “peralatan (devices)” pada judul diubah menjadi “peralatan (equipment)”.
• Kata Merujuk ke 7.1 dihilangkan.
• c) “diidentifikasi untuk dapat” diubah menjadi ”mempunyai identifikasi untuk dapat (have identification to enable their)”.
• Note 1 ditambahkan untuk menghilangkan kata Merujuk ke 10012-2 dan diganti pada Note 3 untuk menjelaskan tetang verifikasi dan manajemen konfigurasi terhadap software computer (jika digunakan untuk aktivitas pemantauan dan pengukuran).
8.2.1
Ditambahkan catatan untuk menyediakan beberapa ide bagaimana kepuasan pelanggan dapat diukur.
8.2.2
• Persyaratan untuk prosedur terdokumentasi sudah ditekankan tetapi tidak berubah.
• Ditambahkan persyaratan terhadap rekaman audit dan hasil-hasilnya.
• Ditambahkan persyaratan Tanggungjawab manajemen terhadap area yang diaudit untuk menjamin tindakan koreksi dan pencegahan yang diperlukan.
• Catatan bahwa rujukan terhadap ISO 10011 diubah menjadi ISO 19011.
8.2.3
• Pernyataan “untuk menjamin kesesuaian terhadap produk” dihilangkan.
• Ditambahkan catatan untuk menjelaskan bahwa organisasi sebaiknya mempertimbangkan tipe pemantauan dan pengukuran proses dan jangkauannya yang berpengaruh terhadap mutu dan SMM.
8.2.4 Persyaratan “pemeliharaan bukti kesesuaian terhadap kriteria keberterimaan sudah dialihkan tetapi masih menjadi persyaratan.
8.3
• Persyaratan terhadap prosedur terdokumentasi sudah ditekankan tetapi tidak berubah.
• Pernyataan “jika dapat diaplikasikan (where applicable)” ditambahkan terhadap metode untuk menyelesaikan masalah produk tidak sesuai.
• Persyaratan untuk penyelesaian produk tidak sesuai yang mencakup aktivitas setelah pengiriman sudah dialihkan ke bullet d) tetapi tidak berubah.
• Persyaratan terhadap rekaman dialihkan tetapi tidak berubah.

Dengan rencana penerbitan versi terbaru ini maka penulis menyarankan perusahaan ataupun lemabaga yang sedang melakukan sertifikasi ISO bisa memilih 2 alternatif berikut
1. Sesegera mungkin melakukan proses sertifikasi ISO 9000 sebelum dikeluarkan versi terbaru
2. Menunda proses sertifikasi ISO 9000 menunggu keluarnya versi terbaru artinya

Pilihan terhadap 2 alternatif tersebut tergantung urgensi sertifikat ISO 9000 bagi organisasi/perusahaan yang akan memeperolehnya.

Read More..

QC GARMENT

QUALITY CONTROL GARMEN
Oleh: Noor Fitrihana


QUALITY CONTROL

Definisi Quality Control (pengendalian mutu) adalah semua usaha untuk menjamin (assurance) agar hasil dari pelaksanaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan memuaskan konsumen (pelanggan).

Tujuan quality control adalah agar tidak terjadi barang yang tidak sesuai dengan standar mutu yang diinginkan (second quality) terus-menerus dan bisa mengendalikan, menyeleksi, menilai kualitas, sehingga konsumen merasa puas dan perusahaan tidak rugi.

Tujuan Pengusaha menjalankan QC adalah untuk menperoleh keuntungan dengan cara yang fleksibel dan untuk menjamin agar pelanggan merasa puas, investasi bisa kembali, serta perusahaan mendapat keuntungan untuk jangka panjang.

Bagian pemasaran dan bagian produksi tidak perlu melaksanakan, tetapi perlu kelancaran dengan memanfaatkan data, penelitian dan testing dengan analisa statistik dari bagian QC yang disampaikan kepada pihak produksi untuk mengetahui bagaimana hasil kerjanya sebagai langkah untuk perbaikan.

Saat pelaksanaan pengujian QC dan testing bila ditemukan beberapa masalah khusus, perlu dibuat suatu study agar dapat digunakan untuk mengatasi masalah di bagian produksi tersebut.

Di samping tersebut di atas tugas bagian QC yaitu jika terjadi komplain, mengadakan cek ulang dan menyatakan kebenaran untuk bisa diterima secara terpisah lalu dilaporkan kepada departemen terkait untuk perbaikan proses selanjutnya.

Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pengendalian biaya (Cost Control)

Tujuannya adalah agar produk yang dihasilkan memberikan harga yang bersaing (Competitive price)

2. Pengendalian Produksi (Production Control)

Tujuanya adalah agar proses produksi (proses pelaksanaan ban berjalan) bisa lancar, cepat dan jumlahnya sesuai dengan rencana pencapaian target.

3. Pengendalian Standar Spesifikasi produk

Meliputi aspek kesesuaian, keindahan, kenyamanan dipakai dsb, yaitu aspek-aspek fisik dari produk.

4. Pengendalian waktu penyerahan produk (delivery control)

Penyerahan barang terkait dengan pengaturan untuk menghasilkan jumlah produk yang tepat waktu pengiriman, sehingga dapat tepat waktu diterima oleh pembeli.

JENIS JENIS QUALITY CONTROL DI GARMEN

    1. Piece Goods quality control/pemeriksaan bahan baku.
      • Adanya inspector pada saat staffing ( bongkar muat )
      • Melakukan pengecekan sejumlah 10% kain dari total kain yang diterima
      • Melakukan dan mengevaluasi adanya fabric defect/ cacat kain
      • Melakukan perbaikan apabila diperlukan
    2. Cutting Departemen Quality Control

· Melakukan persiapan terhadap kebutuhan manpower

· Mempunyai sistim pengecekan pada setiap step proses cutting ( Misalnya pada proses : marker, spreading, cutting dan cutting pieces/ komponen )

· Mempunyai sistim perbaikan apabila diperlukan.

    1. In process Quality Control

· Melakukan persiapan terhadap manpower, alat yang diperlukan mempunyai tempat dengan penerangan yang baik sebagai tempat pengecekan.

· Mempunyai sistim sampling plan

· Mempunyai prosedur dalam menangani masalah rejection dalam bundeling sistim

· Mempunyai sistim audit minimum per hari untuk setiap operator. Untuk operator baru pengecekan minimum 3 x per hari

· Mempunyai sistim audit untuk setiap tahapan proses

· Mempunyai sistim inspect untuk setiap bundle, dengan cara diambil 7 pcs per bundle dan akan dinyatakan reject apabila ditemukan 1 pcs.

· Mempunyai sistim kontinyu audit untuk operator yang mempunyai masalah.

· Mempunyai sistim menyimpanan record untuk operator bermasalah.

    1. Final Statistical Audit

· Menentukan pada step mana kita melakukan sistim audit , dengan menentukan dari status produksi.

· Menentukan berapa colour/warna atau berapa model/style yang akan di audit.

· Mempersiapkan manpower, alat dan tempat

· Melakukan pemilihan pada garmen sesuai dengan statistical

sampling plan

· Melakukan pemeriksaan terhadap jumlah contract dan melakukan periksaan terhadap akurasi labelling dan model/style.

· Melakukan pemeriksaan secara visual untuk setiap jenis quality defect

· Melakukan pemeriksaan terhadap jumlah garmen yang bermasalah

·

SISTEM PEMERIKSAAN DALAM PROSES PRODUKSI

Pemeriksaan Sample (Sample Inspection)

Sample adalah contoh bahan atau material, contoh model atau style, atau contoh garmen. Sample ini dapat berupa sample dari pihak pembeli atau pun yang dibuat oleh pihak pabrik.

Sample yang dimaksud di sini adalah sample yang dibuat oleh pihak pabrik berdasarkan contoh dari pihak pembeli.

Tujuan pemeriksaan adalah agar seluruh sample yang dibuat oleh pihak pabrik (bagian sample) bebas dari cacat, kerusakan, penyimpangan/ ketidaksesuain baik model, mutu jahitan/finishing, ukuran, warna, dan lain sebagainya.

Mutu produk adalah kesesuaian ciri dan karakter produk yang dibuat, dengan ciri dan karakter produk yang diminta, dan kemampuan suatu produk untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam kondisi tertentu.

Setelah menerima sample, selanjutnya sample di-copy komplit size, cek style dan ukuran, kemudian dilanjutkan dengan membuat top sample pre production sebanyak 4 pcs atau lebih per style dan size.

Urutan/Prosedur Pemeriksaan Sampel (QC Sampel):

a. Petugas bagian quality control (QC) akan menerima sample dan lembar pemeriksaan sample dari petugas bagian sample.

b. Lembar rencana kerja (work-sheet) dan contoh produk garmen yang akan diproduksi dibuat oleh petugas bagian sample & Merchandiser diserahkan ke bagian QC.

c. Petugas QC akan memeriksa dan memberi komentar/koreksi terhadap sample pada lembar pemeriksaan (work-sheet) dan menyerahkan kembali kepada merchandiser.

d. Merchandiser mempelajari catatan QC dan memutuskan untuk dikirim ke bagian produksi atau ditolak dan dikembalikan kepada bagian pembuatan sample untuk dibuat ulang contoh atau sample.

e. Jika sample ditolak oleh merchandiser maka sample akan dikembalikan kepada bagian pembuatan sample untuk diperbaiki atau dibuat ulang sesuai dengan mutu sample yang dikehendaki oleh pembeli.

f. Jika sample diterima atau disetujui oleh merchandiser maka sample tersebut akan dikirim oleh merchandiser ke pihak pembeli guna mendapatkan persetujuan, sesuai permintaan atau tidak (approval sample)

g. Petugas QC akan menerima salinan atau copy laporan pemeriksaan sample dari merchandiser.

h. Sampel yang telah disetujui pihak pembeli (approval sample) dikembalikan ke bagian produksi untuk diproduksi secara massal.

PEMERIKSAAN PADA BAGIAN POTONG/CUTTING

Cutting adalah proses pemotongan kain sesuai pola marker yang ada dan sudah dicek kebenarannya oleh bagian marker dan QC cutting.

Secara singkat yang dilakukan oleh bagian QC cutting adalah mengecek gelaran kain, kain tidak gelombang, tidak melipat, kain bawah sampai atas harus sama, dan penyusutan kain. Kemudian mengecek hasil potongan, potongan harus sesuai dengan sample dan toleransi ukuran.

Urutan/prosedur pemeriksaan pada cutting (QC Cutting):

a. Periksa lembar kain bagian atas sampai pada lembar kain bagian bawah dengan posisi kertas marker.

b. Periksa dan cocokkan komponen pola dengan komponen pola yang terdapat pada kertas marker apakah komponen pola sudah lengkap atau belum. Petugas QC harus mencatat semua temuan pada lembar laporan pemeriksaan.

c. Periksa apakah terdapat kesalahan potong pada setiap garis komponen pola ataukah tidak.

d. Cek interlining dengan pola (bila komponen garmen menggunakan interlining dan bordir)

e. Kesalahan potong pada bagian yang seharusnya dipotong ulang pada kain cadangan, dilakukan pencatatan dan pemotongan ulang

Lebih detailnya adalah sebagai berikut

· Melakukan pemeriksaan terhadap kontruksi kain, warna kain, design kain, bagian luar dalam kain, dan bagian centre line kain. Juga melakukan pemeriksaan terhadap kualitas kain.

· Melakukan pemeriksaan pada marker, apakah rasio size/ukuran sudah memenuhi seluruh size/ukuran yang dipesan

· Melakukan pemeriksaan terhadap hasil spreading/ampar apakah kain yang diampar sudah benar benar rata tidak bergelombang dan lurus.

· Melakukan pemeriksaan terhadap metode cutting

· Pemeriksaan terhadap hasil potong, apakah seluruh hasil potong sudah benar benar sesuai dengan original pattern/pola yang diberikan oleh buyer/pemesan.

· Pemeriksaan pada hasil potong, apakah stripe atau kotak dari potongan komponen benar benar matching dan balance.

PEMERIKSAAN PADA BAGIAN FUSING

· Melakukan pemeriksaan terhadap hasil fusing sebelum dan sesudah pencucian. Apakah mengalami perubahan warna dan ukuran.

· Melakukan pemeriksaan terhadap kualitas fusing yang dihasilkan, terdapat delamination dan strike trough atau tidak. Apakah bond strength sudah memenuhi standar atau tidak.

· Melakukan pemeriksaan khusus untuk kain stripe/kotak hasil fuse benar benar lurus dan balance.

· Melakukan pemeriksaan apakah interlining yang digunakan sudah sesuai dengan yang ditentukan oleh buyer atau tidak.

PEMERIKSAAN PADA BAGIAN JAHIT.

Urutan/prosedur pemeriksaan pada proses Sewing:

a. Bekerja sesuai dengan pedoman produksi atau work sheet.

b. Mengikuti proses sesuai dengan layout sampai baju jadi

c. Periksa hasil cutting per komponen sesuai dengan sample dan toleransi

d. Memeriksa jumlah stikan dalam 1 inch (stitch/inch)

e. Periksa hasil jahitan dan ukuran tiap tahapan proses, jahitan harus baik, rapi, tidak loncat.

f. Periksa hasil jadi sesuai dengan work sheet

g. Periksa hasil jadi setelah dilakukan trimming

h. Semua data dicatat pada blangko yang sudah disediakan

Lebih detailnya adalah sebagai berikut

· Melakukan pemeriksaan terhadap model/style yang akan digunakan.

· Melakukan pemeriksaan terhadap material penunjang yang akan digunakan, nisalnya : Label, Button, benang

· Melakukan pemeriksaan terhadap hasil komponen jadi, spi, ukuran, model/style, handling/penanganan

· Melakukan pengukuran terhadap garmen jadi

· Melakukan tes cuci pada garmen jadi untuk mengetahui apakah ada perubahan warna, dan ukuran setelah pencucian.

PEMERIKSAAN PADA BAGIAN GOSOK-LIPAT – PENGEPAKAN

· Melakukan pemeriksaan secara tekhnis apakah temperature/suhu yang digunakan sudah sesuai dengan jenis kain yang akan digosok atau tidak.

· Melakukan pemeriksaan dari hasil gosok, apakah ada perubahan warna, bentuk dan ukuran setelah penggosokan.

· Melakukan pemeriksaan dari hasil gosokan apakah sudah halus sesuai dengan yang diinginkan atau tidak.

· Melakukan pemeriksaan apakah folding method/cara lipat sudah seusesuai dengan permintaan buyer atau tidak.

· Melakukan pemeriksaan terhadap material penunjang( card board, paper collar stripe, plastic collar support, tissue paper, hang tag, price ticket ) apakah sudah sesuai yang dengan permintaan dari buyer atau tidak.

· Melakukan pemeriksaan terhadap kualitas, ukuran dari export carton.

· Melakukan pemeriksaan terhadap total jumlah per carton, dan methode packing.

FINAL AUDIT PROCEDURE/ PROSEDUR FINAL AUDIT

Final audit akan dilakukan pada posisi garmen dengan status produksi tertentu.

· Melakukan pemeriksaan kesesuain pada jumlah pemesanan, warna dan model.

· Melakukan pemilihan/pengambilan garmen secara random sesuai dengan statistical sample plan.

· Melakukan pemeriksaan secara visual dari hasil operasi sewing/ jahit apakah kualitas jahit sudah sesuai atau tidak dengan standar

· Melakukan pemeriksaan terhadap ukuran, apakah sudah sesuai dengan pemesanan atau tidak. Minimum pengukuran 5 pieces untuk setiap warna dan ukuran.

· Melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap: model, kain, warna, jahitan, material penunjang, konstruksi material, price ticket, folding method/cara lipat, carton marking. Dan carton labeling.

KLASIFIKASI DEFECT

1. Defect akan diklasifikasikan menjadi dua yaitu, defect major dan defect minor.

2. Major defect adalah sebuah kondisi garmen yang diindikasikan akan menjadi second quality atau tidak memenuhi standar karena beberapa alasan berikut :

  • Defect tersebut akan mempengaruhi integrity/keutuhan dari product
  • Defect tersebut akan mempengruhi terhadap daya jual dari product
  • Defect tersebut akan mempengaruhu kepercayaan dan kepuasan konsumen terhadap product
  • Defect tersebut menjadikan ketidak sesuaian pada style

3. Minor defect adalah sebuah kondisi dimana defect tersebut tidak akan menimbulkan complain dari konsumen.

DEFINISI DEFECT PADA BAGIAN SEWING/JAHIT

  1. Crooked label/ label tidak di tengah +/- 1/16” dari tengah masih diperbolehkan
  2. Label seam ends on yoke/ jahitan label tembus satu jarum pada bahu. Diperbolehkan tidak melebihi 1/8”
  3. Label stitching over run/ jahitan label keluar. Diperbolehkan tidak melebihi satu jarum
  4. Poor banding/ lapisan kaki kerah melintir. Tidak diperbolehkan
  5. Nose on band extension/pemasangan kaki kerah nonjol. Diperbolehkan tidak melebihi 1/16”.
  6. Uneven collar point length/Lebar dari pucuk kerah tidak sama kiri dan kanan. Tidak ada toleransi , ukuran harus benar benar akurat.
  7. Untidy joint stitching at collar/jahitan sambungan pada kerah. Tidak diperbolehkan ada jahitan sambung pada bagian kerah.
  8. Mismatched collar/kerah tidak matching. Diharuskan matching pada bagian ini.
  9. Skip stitch collar/stik kerah loncat. Tidak diperbolehkan
  10. Open seam collar closing/pasang tutup kerah jebol. Tidak ada toleransi.
  11. Beading collar point/pucuk kerah tidak lancip. Tidak ada toleransi.
  12. Fractured Collar point/pucuk kerah jebol. Tidak ada toleransi.
  13. One front longer than other/bagian depan kiri kanan tidak sama. Tidak diperbolehkan melebihi ¼”
  14. Skip stitch top centre/jahitan loncat pada bagian tengah. Tidak ada toleransi.
  15. Missing or faulty button/kurang atau rusak kancing. Tidak ada toleransi.
  16. Open seam joining/jebol pada penggabungan. Tidak ada toleransi
  17. Faulty pocket blocking/Block saku kurang baik. Tidak ada toleransi.
  18. Incorrect pocket location/penempatan saku yang tidak sesuai. Diperbolehkan tidak melebihi ¼”
  19. Hi Low Pocket/Pocket kiri dan kanan tidak sama posisinya. Diperbolehkan tidak melebihi 1/4”
  20. Sleeve not even at armhole/ tangan tidak sama pada bagian ketiak. Diperbolehkan tidak melebihi ¼”
  21. One sleeve longer than other/panjang tangan kiri dan kanan tidak sama. Diperbolehkan tidak melebihi ¼”
  22. Puckering/Kerut. Tidak diperbolehkan.
  23. Sleeve placket faulty blocking/Blocking tangan tidak bagus. Harus diperbaiki.
  24. Fullness in Cuff/Gelembung pada manset. Harus diperbaiki.
  25. Nose on Cuff/pemasangan manset menonjol ke luar.Harus diperbaiki.
  26. Beading Cuff attached/Pasang manset menonjol ke atas. Harus diperbaiki.
  27. Needle pulls, needle chew/Terdapat bekas karena jarum tumpul. Tidak diperbolehkan.
  28. Brooken stitch/Jahitan putus. Tidak diperbolehkan.
  29. Half sewn button/jahitan kancing hanya separuh.

DEFINISI DEFFECT PADA BAGIAN FOLDING DAN PACKING

1. Crushed or no collar support/Rusak atau sobek kertas penahan kerah. Harus diperbaiki.

2. Tie space too big/overlap/Jarak pemasangan dasi terlalu lebar atau bertumpang tindih.

3. Crooked Collar/Kerah tidak pas pada bagian tengah lipatan.

4. Mismatched front stripe/plaid/Bagian kiri dan kanan tidak matching untuk stripe atau kotak.

5. Mismatched pocket/Pemasangan saku tidak matching.

6. Mismatched collar/Kerah tidak matching

7. Collar not rolled properly/Kerah tidak bulat secara sempurna.

8. Torn/misprinted poly bag/ Plastik robek dan ada kesalahan print.

9. Dry wrinkles/ Gosokan tidak rapi.

10. Poor Pinning/Pemasangan jarum pentul tidak baik.

11. Crooked front folding/Bagian lipatan kiri kanan tidak seimbang.

12. Flaps not covering to pocket/Tutup saku tidak menutupi secara sempurna.

13. Puckering collar closing/kerut pada bagian pemasangan kerah.

14. Fullnes in band/gelembung pada bagian dalam kaki kerah

15. Hi Low Button Down/Kancing kerah kiri kanan tinggi rendah.

16. Misaligned neck button to front button/Kancing leher tidak lurus terhadap kancing depan.

17. Fullness around collar/Gelembung sekitar kerah

18. Fullness between 1st and 2nd front button/Gelembung antara kancing pertama dan kedua pada bagian depan.

19. Wrong size in box/Salah memasukan ukuran pada box

20. Wrong assortment/ Salah assortment

21. Wrong style in box/ Salah style yang masuk pada box

22. Wrong poly bag/ Salah plastic

23. Wrong Carton Marking/ Salah print pada karton box

Sumber bacaan

Aas Asmawati, Pelatihan QA Garmen di PTBB UNY

GRIPAC, Modul QC.

diambil dari www.batikyogya.wordpress.com

Read More..

Tuesday, November 18, 2008

IPTEK

MICROSOFT LUNCURKAN PIRANTI LUNAK LOKAL 'IMULAI 2.0'


formatnews - Jakarta, 18/11 (antara) : Microsoft bekerja sama dengan SENADA-- sebuah proyek untuk peningkatan daya saing yang didanai USAID-- meluncurkan kompetisi untuk bagi pengembang piranti lunak lokal di Indonesia yang diberi nama "iMULAI2.0".

Presiden Direktur Microsoft Indonesia, Tony Chen, dalam jumpa pers peluncuran iMULAI 2.0 di Jakarta, Selasa mengatakan kompetisi iMulai 2.0 ini diharapkan dapat lebih meningkatkan industri software lokal.

"Dengan acara seperti ini kami mendukung pemerintah untuk meningkatkan perekonomian dengan cara mengembangkan software-software lokal," kata Tony.

Dia mengatakan program iMULAI memiliki fokus utama yang menjadikan industri teknologi informasi di Indonesia lebih kompetitif seperti inovasi dan kewirausahaan.

Sedangkan Direktur Proyek SENADA, Steve Smith mengharapkan melalui kegiatan ini, para inovator piranti lunak Indonesia akan memperoleh pengakuan yang lebih luas atas karyanya dan pada gilirannya akan menumbuhkan tingkat kepercayaan tinggi atas produk piranti lunak lokal.

"Upaya ini akhirnya akan menumbuhkan semangat kewirausahaan bagi para pengembang piranti lunak untuk menjadi pengusaha yang handal," kata Steve.

Kompetisi yang digelar kedua kalinya ini merupakan kompetisi yang menampilkan sebuah ide tentang aplikasi yang inovatif.

Lombanya, seperti iMulai pertama, adalah menyusun proposal dan rencana bisnis pengembangan piranti lunak tertentu.

iMULAI 2.0 ini memperebutkan hadiah utama berupa, Dana Usaha Inovasi sebesar Rp. 675 juta, tiket dan akomodasi untuk menghadiri event Microsoft TechEd di Malaysia selama 5 hari, perangkat keras senilai Rp 70 juta serta perangkat lunak Microsoft untuk pengembangan senilai Rp. 225 juta.

Sedangkan, untuk 50 proposal terbaik akan mendapatkan perangkat lunak Microsoft untuk pengembangan bernilai total lebih dari Rp. 3,7 Milyar.

Pada iMULAI pertama tahun 2007 berhasil menjaring 1600 anggota. Baik dari kalangan perusahaan ataupun perorangan.

Sedangkan sampai akhir program iMULAI pertama ditutup, Microsoft mengklaim telah tertampung 106 buah proposal yang memuat berbagai aplikasi yang inovatif

Read More..

informasi Aids


formatnews - Kudus, 19/11 (ANTARA) : Penggunaan jarum suntik narkoba lebih mendominasi terjadinya kasus penularan virus HIV/AIDS, dibandingkan dengan media penularan lainnya.

"Terbukti persentase penularan HIV/AIDS melalui penggunaan jarum suntik narkoba mencapai 46,5 persen, disusul hubungan heteroseksual sebanyak 36,3 persen," kata salah satu pembicara dalam seminar sosialisasi HIV/AIDS di Rumah Sakit Mardirahayu, Kudus, dr. Sri Pinaringsih, MM, Selasa.

Sementara cara penularan lainnya, yakni melalui perilaku homo/biseksual sebesar 6,1 persen, perinatal 1,6 persen, transfusi darah sebanyak 0,2 persen, dan penularan lain yang belum diketahui penyebabnya sebesar 9,4 persen.

Dih adapan puluhan pelajar SLTA se-Kabupaten Kudus, Sri Pinaringsih, mengingatkan, para pelajar untuk menghindari perilaku menyimpang, seperti seks bebas dan narkoba.

"Jangan pernah sekali mencoba melakukan hubungan badan di luar nikah atau mencoba mengkonsumsi narkoba, karena selain mengganggu ketenangan psikis dan kesehatan juga berpotensi tertular HIV/AIDS," jelasnya.

Berdasarkan data dari Depkes RI, jumlah penderita AIDS di Indonesia hingga akhir Maret 2005 untuk usia 20-29 tahun mencapai 1.222 orang, sedangkan usia 30-39 tahun hanya 605 orang.

"Artinya, usia produktif lebih berpotensi tertular HIV/AIDS," ujarnya.

Bahkan, pencegahan penularan HIV/AIDS dengan penggunaan kondom juga tidak menjamin keamananya, karena ukuran virus HIV lebih kecil dari ukuran pori-pori kondom.

"Penggunaan kondom memang salah satu upaya pencegahan penularan HIV/AIDS, namun pencegahan yang lebih aman adalah menghindari perilaku seks bebas dan pergaulan bebas lainnya yang menjurus ke arah perilaku seks bebas," katanya.

Pasalnya, ciuman bibir antar lawan jenis juga dapat menularkan virus HIV/AIDS, terutama jika penderita mengalami luka di bibir atau mulut.

Para peserta yang mengikuti kegiatan sosialisasi HIV/AIDS tersebut, diharapkan dapat memahami tentang virus mematikan tersebut, mengetahui cara-cara penularannya, mengerti cara pencegahan dan menanggulanginya.

"Yang jelas, kami berharap, peserta memiliki kesadaran pentingnya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, dan dengan sukarela bersedia memeriksakan diri," jelasnya.

Pada kesempatan tersebut, Sri Pinaringsih, yang sehari-harinya menjabat sebagai Manajer Personalia RS Mardi Rahayu, meminta peserta untuk menularkan pengetahuan ini kepada teman-teman lainnya

Read More..

Kabar buruh

Selasa, 18 November 2008 | 21:07:25


formatnews - Jakarta, 18/11 (ANTARA) : Menakertrans Erman Suparno mengatakan sejumlah perusahaan sudah meminta izin untuk merumahkan 13.000 pekerjanya karena terkena dampak krisis ekonomi global.

Erman di sela penyerahan gedung Korea-Indonesia Technical and Cultural Cooperation Center di Ciracas, Jakarta Timur, Selasa, menolak mengatakan perusahaan mana saja yang sudah meminta izin tersebut.

"Berapa jumlah perusahaan yang mengajukan dan perusahaan apa saja, gak (tidak) usahlah saya sebut, gak etis," kata Menteri.

Pada bagian lain dia juga mempersilahkan jika ada serikat pekerja/buruh untuk mempertanyakan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri ke ke Mahkamah Agung.

"Boleh-boleh saja kalau mereka mau ke Mahkamah Agung. Tapi kalau masih bisa dan mau dirembug, ya, silahkan. Tunjuk saja perwakilannya, kita berembug bersama," kata Erman terkait rencana sejumlah serikat pekerja/buruh yang akan melaporkan masalah SKB 4 Menteri ke MA.

Erman mempertanyakan sikap serikat pekerja tersebut, karena menurut dia kehadiran SKB itu justeru untuk menyelamatkan pekerja dari PHK massal.

"Jika ada PHK massal siapa yang akan bertanggungjawab. Apa yang demo yang bertanggungjawab? Jadi, sekali lagi saya tegaskan, saatnya kita bersama-sama menatap ke depan karena ada krisis yang sifatnya post mayor, krisis yang tidak diharapkan dan di luar dugaan kita yang diyakini berdampak pada pekerja," kata Erman.

Dijelaskannya, SKB 4 menteri adalah jaring pengaman agar perusahaan tetap beroperasi, pekerja tetap bisa bekerja dan terhindar dari PHK.

Dia juga menyatakan bahwa SKB itu tidak melarang kenaikan upah minimum provinsi (UMP) pekerja diatas enam persen karena kenyataannya sudah 11 provinsi mengumumkan kenaikan UMP dan diatas 10 persen. "Berarti itu tidak ada masalah," katanya.

Menteri juga mengatakan, Indonesia tidak mengalami dampak yang parah atas imbas krisis ekonomi global pada 2009. Jika pun terjadi maka sudah ada payung hukumnya, yaitu SKB empat menteri.

Menurut dia, jika ada industri padat karya yang kolaps maka pengusaha bisa mengajak pekerja untuk berunding atas UMP yang sudah ditetapkan gubernur.

Terkait dengan itu, Erman menyatakan sudah mengunjungi sejumlah provinsi dan bertemu langsung dengan para gubernur, terutama di provinsi yang daerahnya banyak industri manufaktur.

Dia juga menilai pemerintah daerah juga perlu mensosialisasikan SKB 4 Menteri tersebut. Kepada aktivis pekerja/buruh dia mengimbau, "Mari berfikir tenang, tidak emosi, kita rembuk bersama (semua masalah)."

Read More..

KADIN SUKABUMI KEBERATAN SKB LIMA MENTERI


formatnews - Sukabumi, 24/7 (ANTARA) – KAMAR Dagang dan Industri (Kadin) Sukabumi merasa keberatan dengan pelaksanaan Surat Keputusan Bersama (SKB) lima menteri mengenai pengalihan jam kerja bagi pelanggan industri akhir Juli 2008 mendatang.

Pengalihan hari kerja akan memberikan dampak yang serius bagi buruh dan pengusaha, maka kami yang ada di daerah sudah menyampaikan keberatan dan meminta penundaan kepada Kadin di Jabar dan pusat, kata Ketua Kadin Sukabumi, Andri L Kusumah di Sukabumi, Kamis.

Ia menyebutkan, pelaksanaan SKB itu akan menemui kendala karena para buruh sudah terbiasa dengan libur hari Sabtu dan Minggu.

Para pengusaha juga akan mengeluarkan biaya lebih untuk pengalihan hari kerja seperti upah lembur akan meningkat dibandingkan hari kerja biasa, paparnya.

Andri menuturkan, sejumlah industri terutama garmen di Kabupaten Sukabumi sudah mulai merencanakan beberapa alternatif pelaksanaan SKB, yakni dengan menggunakan genset saat terjadi pemadaman listrik di siang hari dan lembur di malam hari.

Hal ini dapat meminimalkan dampak sosial yang tinggi bila menerapkan pengalihan hari kerja, katanya seraya mengatakan para buruh sudah menyuarakan hal serupa pada serikat pekerjanya masing-masing tentang keberatan pengalihan hari kerja.

Kadin Jabar, lanjut dia, sebelumnya sudah meminta pemerintah agar menunda dulu pelaksanaan pengalihan hari kerja karena akan berdampak terhadap buruh dan pengusaha.

Di Sukabumi sendiri, ia memprediksi yang akan terkena dampak terhadap SKB lima menteri itu, yakni industri yang berada di Kabupaten Sukabumi, yakni industri garmen, sementara industri di Kota Sukabumi belum terlalu terkena dampaknya.

Kota Sukabumi tidak akan terlalu terasa dampaknya karena sektor industrinya tidak terlalu banyak. Perkembangan ekonominya bertumpu pada sektor perdagangan dan jasa, kata Andri.

Read More..

Buruh Anak

Kemiskinan, Akar Persoalan PRT Anak





Kemiskinan, Akar Persoalan PRT Anak

Oleh: Maria Hartiningsih

Laporan ke-12 Human Right Watch mengenai buruh anak berjudul ”Always on call: abuse and exploitation of child domestic workers in Indonesia” melucuti bias-bias pandangan masyarakat tentang buruh anak pekerja rumah tangga, tetapi tidak menyentuh akar persoalan dari fenomena anak pekerja rumah tangga di Indonesia.

Laporan itu merupakan hasil investigasi, menyusul berbagai investigasi mengenai penggunaan anak dan tenaga anak secara eksploitatif di berbagai sektor kegiatan, termasuk di dalam konflik bersenjata di berbagai negara.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab ketika ditanya pandangannya mengenai laporan tersebut oleh para jurnalis kantor berita asing, mengatakan, pekerja rumah tangga anak (PRTA) merupakan fenomena kultural. Katanya, bila mereka tidak suka perlakuan di tempat kerjanya, mereka bisa pergi dan mencari pekerjaan di tempat lain. Komentar itu dikutip di harian The Guardian (21/6) oleh kantor berita Reuters dan AFP pada waktu hampir bersamaan.

”Fenomena kultural” merupakan jawaban banyak tokoh menanggapi fenomena PRTA, karena secara historis memang ada tradisi ngenger di berbagai suku bangsa di Indonesia. Ngenger pada zaman feodal di Jawa berarti menitipkan anak kepada para priyayi untuk dijadikan abdi, atau abdi dalem di kalangan kerajaan, supaya secara sosial statusnya meningkat.

Istilah ini juga digunakan untuk anak yang dititipkan kepada kerabat atau keluarga besarnya di kota yang lebih mapan secara ekonomi. Kalaupun tak ada hubungan keluarga, paling tidak ada komitmen untuk membantu pendidikan anak tersebut. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman, istilah itu sering dimanipulasi untuk menutupi eksploitasi dan penindasan oleh pihak yang ditumpangi terhadap yang menumpang.

Tak menyentuh akar

Mengutip data Organisasi Buruh Internasional, laporan itu memperkirakan di Indonesia terdapat 4.201.452 anak di bawah usia 18 tahun yang terlibat dalam pekerjaan berbahaya. Dari jumlah itu, lebih dari 1,5 juta anak di antaranya adalah perempuan. Dari survei yang dilakukan Universitas Indonesia dan Program Penghapusan Buruh Anak Organisasi Buruh Internasional (IPEC/ILO), diperkirakan terdapat 2,6 juta PRT di Indonesia, dan sedikitnya 34, 83 persennya (688,132) tergolong usia anak (di bawah 18 tahun). Sekitar 93 persen dari jumlah itu adalah anak perempuan.

Laporan itu memuat persoalan PRTA, termasuk modus penipuan dan ingkar janji, eksploitasi, dan penindasan yang dengan mudah terlihat dari lamanya waktu kerja, kurangnya waktu istirahat dan tidak adanya hari libur, kekerasan psikologis dan fisik, serta ancaman kekerasan yang dialami PRTA di tempat kerjanya.

Namun, laporan itu tidak mengkaji mendalam akar persoalan fenomena PRTA, sehingga jalan keluar yang ditawarkan hanya menyentuh puncak gunung es persoalan PRTA.

Laporan ini menyebut hubungan antara pendidikan dan buruh anak, tetapi tidak memberi gambaran mengenai hubungan lebih jauh antara kemiskinan dalam arti luas—bukan hanya kemiskinan materi—dengan posisi anak, khususnya anak perempuan pada banyak budaya di Indonesia. Juga tidak disinggung mengenai ketimpangan yang makin lebar antara pendidikan dan lapangan kerja.

Karena itu, seperti mengulang laporan IPEC/ILO yang dibukukan dalam Bunga-bunga di Atas Padas (2004), laporan HRW ini hanya memberi solusi yang tak jauh dari perlindungan dan hukum. Kedua hal itu tentu saja sangat penting, tetapi juga cenderung menyembunyikan dimensi persoalan yang lebih luas, termasuk struktur gaji dan lemahnya sistem jaminan keamanan sosial di Indonesia.

Tidak sederhana

Masalah PRT anak sebenarnya sangat rumit, ujar Sudaryanto. Direktur dari Direktorat Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu mengatakan, peraturan apa pun tak mudah diimplementasikan di wilayah kerja yang sifatnya privat, yakni di dalam rumah. Sehingga sulit dijangkau, tambah Sudaryanto.

Ia juga mengingatkan peraturan yang dibuat pemerintah pusat tidak dapat begitu saja dipaksakan berlaku di daerah setelah diterapkannya otonomi daerah. Justru yang diperlukan adalah peraturan-peraturan daerah yang mengatur perlindungan terhadap PRT dan mempunyai klausul khusus mengenai PRT anak, ia melanjutkan.

Menurut Sudaryanto, variasi situasi dari berbagai daerah sangat tajam, sehingga tidak bisa digeneralisasi. Ia mengambil contoh Filipina yang sudah memiliki peraturan nasional mengenai PRT, namun sangat hati-hati menentukan standar gaji minimum. Sudaryanto tidak menyebut perhitungan upah yang dipaparkan dalam laporan itu.

Kata Sudaryanto, pihaknya terus mendorong para pemangku kepentingan di berbagai daerah untuk merancang peraturan perlindungan PRT. Beberapa daerah yang sedang melakukannya antara lain, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Riau. Pemangku kepentingan yang ia maksudkan adalah birokrasi, perguruan tinggi, organisasi nonpemerintah, dan asosiasi pengusaha. Kalau hanya dibebankan pada birokrasi tidak akan selesai, katanya.

Meski tampaknya ideal, penjelasan Sudaryanto memperlihatkan bias pandangannya sebagai birokrat, karena ia memandang PRT tak mampu mendefinisikan kebutuhannya.

Kendati demikian, Sudaryanto mengingatkan, akar persoalan ini, yakni kemiskinan dan labor surplus economy. Masyarakat miskin kita 36 juta orang, yang menganggur 10 juta orang dan 60 persen pendidikan masyarakat hanya tingkat sekolah dasar, paparnya. Karena itu, lanjut Sudaryanto, paradigmanya harus digeser.

Saya tidak mau hanya menjadi seperti pemadam kebakaran. Kasus-kasus memang ada dan harus diselesaikan, tetapi akarnya juga harus diperhatikan, tegasnya.

Penuh bias

Panji Putranto dari IPEC/ILO memaparkan bias-bias pandangan masyarakat dalam persoalan PRTA. PRT anak mengalami dua diskriminasi sekaligus, diskriminasi berdasarkan jender dari orangtuanya, dan berdasarkan kelas dan jender dari majikannya, dan secara sosial dari masyarakat yang menganggap pekerjaan domestik sebagai pekerjaan yang rendah, ujarnya.

Petugas lapangan dari Program Beasiswa eks PRTA dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Iin Muindasari, kerap dihadapkan pada kenyataan yang diskriminatif terhadap anak perempuan. Kalau anaknya dikembalikan ke rumah orangtua untuk diberi beasiswa, orangtuanya malah sering marah karena tidak ada pemasukan, malah harus mengeluarkan uang untuk biaya transpor, ujar Iin beberapa waktu lalu. Kalau ditanya pada orangtua apakah ada anak laki yang mau menjadi PRT, jawabannya adalah cemoohan, Mana ada.

Mengenai kasus-kasus majikan yang ditipu PRT dan banyak kasus di mana PRT berlaku sesukanya terhadap majikan, seperti minta pulang tanpa peduli situasi di rumah majikan, Panji mengatakan, Tak semua majikan baik, tak semua PRT baik, tak semua penyalur tenaga kerja baik, ujarnya. Karena itu harus ada peraturan yang jelas, kontrak kerja yang jelas. Era ngenger harus diakhiri, tegas Panji.

Ia mengingatkan, pada masa Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menakertrans yang lalu pernah dikampanyekan libur satu minggu satu hari, tetapi sampai hari ini tak ada kelanjutan kampanye tersebut. *

Sumber: Kompas

Read More..